Friday, September 22, 2017

Guru dan Kebangkitan Budaya Literasi

(Tulisan ini telah dipublikasikan di HU Pikiran Rakyat 26 Mei 2017)

Hari Pendidikan, Hari Buku, dan berujung pada Hari Kebangkitan Nasional pada bulan Mei ini adalah momen yang tepat untuk mendukung kemajuan budaya literasi bangsa. Dimulai dari perhelatan beberapa pameran buku yang telah lalu di Ibukota dan sekitarnya, semuanya menuai kesuksesan. Yang menarik, salah satu diantaranya tercatat sebagai pameran buku terbesar dan termurah di dunia versi Guiness Book of record tahun 2011 dan berhasil menjual lebih dari tiga juta buku hanya dalam waktu 12 hari![1].
Pameran-pameran buku tersebut sesungguhnya memiliki tujuan utama yaitu, mendukung peningkatan minat baca masyarakat melalui penawaran buku-buku berkualitas dengan harga murah. Seperti halnya beberapa negara di Asia Tenggara lainnya, Indonesia memiliki masyarakat dengan minat baca yang rendah. Pada tahun 2016, Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei soal minat baca oleh suatu lembaga literasi internasional bertempat di Amerika[2]. Tetangga kita, Malaysia, berada pada posisi 53 dan Singapura pada posisi jauh meninggalkan kita, 36! Kemudian, dalam lingkup yang lebih kecil, Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Indramayu melaporkan temuan bahwa rata-rata hanya enam orang yang memiliki minat baca di setiap desa di Kabupaten Indramayu dari total penduduk 1,8 juta jiwa[3].




 Kesuksesan pameran-pameran buku di Indonesia tersebut menjadi gambaran bahwa masyarakat kita merindukan akses terhadap buku-buku berkualitas sekaligus murah. Mungkin persoalan utama yang berkontribusi besar terhadap rendahnya minat baca bangsa adalah akses terhadap bahan bacaan itu sendiri. Sulitnya mendapatkan buku murah dan bermutu serta tidak meratanya distribusi buku ke berbagai daerah di Indonesia menyebabkan masyarakat kita meninggalkan kebiasaan mulia tersebut.
Kita perlu mengapresiasi berbagai upaya pemerintah pusat maupun daerah dalam meningkatkan minat baca bangsa melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN). Diantaranya, pertemuan presiden Joko Widodo di Istana Negara dengan lebih dari 35 pegiat literasi dari berbagai daerah[4]. Bantuan berupa puluhan ribu buku yang disebar ke berbagai pelosok daerah. Rencana menggratiskan pengiriman buku lewat PT POS pada hari tertentu[5]. Dan pemerintah daerah yang tak mau ketinggalan, seperti yang dilakukan oleh Kabupaten Bandung melalui ‘Sabilulungan Award’ bidang pendidikan yang diberikan kepada Asep Suhendar sang penjual batagor seraya membawa buku dan Elis Ratna Suminar yang bersama suaminya menciptakan perpustakaan Angkutan Kota (Angkot) keliling[6].
Sebagai seorang pendidik yang menyadari pentingnya kebangkitan budaya literasi yang maju, maka sudah sepantasnya kita menjadi muara bagi gerakan-gerakan keteladanan tersebut. Guru adalah orang yang paling mudah menularkan kenikmatan membaca. Sesungguhnya tidak ada yang lebih penting yang dapat diwariskan oleh seorang guru selain hasrat yang besar untuk membaca dan menulis. Dengan budaya membaca dan menulis yang baik, siswa akan dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta menjadi bagian dari kemajuan masyarakat di sekitarnya.***





[1] Tempo.com  diakses 8 Mei 2017
[2] Pikiran-Rakyat.com, 17 Maret 2017. Koran Republika, 8 Mei 2017.
[3] Koran Pikiran rakyat 28 April 2017.
[4] Koran Kompas, 3 Mei 2017.
[5] Koran Republika, 8 Mei 2017.
[6] Koran Pikiran-Rakyat, 2 Mei 2017.

No comments:

Post a Comment